Widget HTML #1

Zuck Linn #11: Rasa Itu

Zuck & Linn


#11 Rasa Itu

"Aku jatuh cinta sama Linn," kata Zuck tiba-tiba tanpa pembukaan apa-apa. Selepas maghrib itu, ia menyusul Yonah yang sedang duduk menyulam kain di teras samping rumah.

Pelan-pelan Yonah menoleh ke arah Zuck, matanya perlahan membola, mulutnya ternganga. "Apa?"

"Aku jatuh cinta sama Linn."

"I.. Ini aku yang salah denger? Apa Mas yang salah ngomong?"

"Nggak ada yang bersalah dalam hal ini. Kamu nggak salah denger. Aku juga nggak salah ngomong. Aku jatuh cinta sama Linn," Zuck menegaskan sekali lagi.

Yonah mengibaskan tangan. "Nggak, nggak. Ini pasti cuma mimpi. Enggak, Mas. Kamu nggak mungkin jatuh cinta sama Linn!"

"Nggak usah kayak sinetron gitu. Lebay!" Zuck mencubit pipi Yonah.

"Auw! Apaan sih? Sakit tau!" Yonah melotot sambil meraba-raba pipinya.

"Nah, kalau sakit berarti ini bukan mimpi. Ini kenyataan yang harus kamu hadapi, bahwa suatu saat kamu akan memanggil Linn kakak."
"Gombaaal!" teriak Yonah.

Zuck tertawa. "Dia cantik ya? Lesung pipinya itu. Duh..."

"Tapi kan dia masih anak SMA. Sementara kamu sukanya cewek-cewek yang dewasa, Mas? Jangan lupa itu!"

Zuck terdiam. Sejujurnya ia tidak lupa, hanya saja kesupelan Linn, tingkahnya yang menyenangkan, serta senyumnya yang bergigi kelinci dan berlesung pipi, telah mengoyahkan prinsip Zuck selama ini. "Aku sanggup kok nunggu Linn dewasa dan lulus SMA, sambil macarin dia."

Tangan Yonah mengepal. Bibirnya terkatup. Ia benar-benar kesal.

"Lagian kedewasaan seseorang bukan cuma dilihat dari umurnya. Menurutku, cara paling akurat mengetahui seseorang sudah dewasa atau belum adalah melihatnya saat pangkas rambut. Kalau setelah pangkas bayarnya 15.000, berarti sudah dewasa," jelas Zuck. Pengetahuan tersebut didapatnya dari hasil pengamatan di tempat pangkas rambut Jabon selama ini.

"Huft!" dengus Yonah. Ternyata Zuck dan Linn sama saja cara pandangnya perihal kedewasaan. Sama-sama tak waras!



Yonah bukan tidak suka abangnya punya hubungan spesial dengan Linn. Ia justru bahagia banget, seandainya hubungan spesial itu berupa pernikahan. Kalau sekedar pacaran, Yonah tidak setuju. Tidak pokoknya tidak!

Kebanyakan orang pacaran ujung-ujungnya putus, kemudian setelah putus jadi musuhan, dan terkadang orang-orang di sekitar kedua belah pihak yang putus ikut terkena imbas. Yonah ingat, dulu saat Zuck masih dengan Wanda, ia sangat dekat dengan pacar abangnya itu dan sudah seperti kakak sendiri. Tapi begitu hubungan mereka berakhir, kedekatannya dengan Wanda juga turut berakhir.

Dan Yonah tidak ingin hal itu terulang kembali pada hubungan persahabatannya dengan Linn. Apalagi Linn tergolong mahluk hidup yang rawan putus jika punya pacar.

"Jangan dia, Mas. Dia itu mantannya banyak. Suka gonta-ganti pacar. Pacar terakhirnya aja yang namanya Evan, baru beberapa hari lalu diputusin. Udah gitu, saat ini dia lagi deket sama Rein, murid baru di sekolah!"

"Yang bener?"

"Iya! Tanya aja sama aku kalau gak percaya."

Beberapa detik Zuck termenung. "Entah kenapa aku justru semakin sayang dia. Aku merasa terpanggil untuk merubah sifatnya."

"Argh dasar gila! Kalian memang gila! Huh!" Yonah pening sendiri memikirkan dua orang itu.

"Aku memang tergila-gila dia, Yonah. Tiap bersamanya aku seperti amnesia, bahagianya sampai lupa diri."

"Terserah! Dasar lebay! Yang penting sebagai keluarga aku udah ingetin. Jadi jangan nyesel andai nanti Linn nyakitin kamu!"

"Siap!" jawab Zuck sambil berdiri sempurna ala hansip. "Sekarang aku ke kamar mandi dulu ya? Gosok gigi, biar nafas seger, mau telepon Linn."

Yonah memandangi kepergian Zuck dengan perasaan super sebal.

Ilustrasi Gambar Mawar

--~=00=~--

Linn tengah tergolek malas di dalam kamarnya yang lengang. Biasanya kamarnya tidak pernah selengang itu. Ada suara musik, suara TV, atau paling jelek suara letusan-letusan nyamuk terpanggang akibat Linn perangi dengan raket listrik. Tapi entah malam ini, Linn sedang tidak ingin melakukan apapun selain bernapas.

Androidnya berkedip. Linn berguling dua kali di atas kasur mendekati benda itu yang tergeletak di meja belajar. Ada pesan WhatsApp dari Rein.

'Karaokean yuk, Linn. Aku sekarang hobi banget nyanyi. Di Timor Leste kemarin malah sempet jadi vokalis band. Ntar aku tunjukin suaraku.'

Kepala Linn menggeleng. Ia sama sekali tak tertarik dengan dunia tarik suara.

'Aku lagi pengen di rumah aja.'

'Kalau gitu aku ke sana, nemenin kamu yang lagi pengen di rumah aja. Aku bawa gitar yah?'
'Ih nggak usah.'

'Yaudah nggak usah bawa gitar.'

'Maksud aku kamu! Nggak usah ke sini.'

'Kenapa sih? Dulu waktu pertama aku datang kamu seneng banget. Setelahnya setiap aku ajak jalan selalu nggak mau.'

'Salah sendiri ngajaknya pas aku nggak mau.'

'Malah jadi aku yang salah?!'

Pesan itu tak sempat Linn balas. Ponsel yang sedang ia gunakan tiba-tiba berdering. Ada nomor baru berawalan +62 memanggil. Pasti ini Zuckici! Pikir Linn yang langsung menerima panggilan itu tanpa pikir dua kali.

"Halo. Ini siapa?" tanya si penelepon.

"Loh ini siapa?" Linn bingung dan balik bertanya.

"Oh ini siapa. Ya ampun, siapa apa kabar?"

"Hahaha..." Wajah Linn yang semula suntuk, berubah ceria mendengar suara si penelepon yang dari gayanya sudah bisa Linn kenali.

"Lagi apa?" tanya Zuck.

"Lagi bosen."

"Coba bikin variasi. Misalnya tidur pakai kostum ninja, atau kalau cuci muka pakai deterjen."

"Apaan sih? Geje!"

"Tips biar nggak bosen."

"Aku butuhnya tips biar nggak ngangenin."

"Umur kamu kan baru 18?" tanya Zuck dengan nada heran. Ia menduga usia Linn pasti tidak jauh terpaut dengan adiknya.

"Iya. Tapi masih terlihat kayak remaja 17-an kan, Mas, kan?"

"Iya sih. Cuma yang aku gagal paham, kenapa baru 18 tahun jadi orang cantik aja kamu udah bosen?"

"Arghh!" Linn meremas-remas seprei.

"Malam minggu besok nggak ke mana-mana?" Zuck bertanya lagi.

"Enggak."

"Nggak apa?"

"Nggak ke mana-mana!"

"Aku juga nggak ke mana-mana."

"Trus kalau sesama nggak ke mana-mana berarti kita jodoh? Mau ngomong gitu kan? Keprediksi!"

"Emang gitu kan? Banyak yang bilang kalau jodoh nggak akan ke mana-ke mana."

"Kenapa baru sekarang nelpon?" Linn buru-buru gantian bertanya sebelum didahului.

"Dulu jaman masih sekolah sebenarnya udah pengen nelpon kamu. Sayangnya pas aku SD itu, HP belum diciptakan."

Linn berusaha tidak tertawa. "Kita terlambat kenal."

"Iya, bener. Begitulah kebiasaan orang Indonesia. Suka nggak tepat waktu. Jam karet! Gimana kalau kita jadian aja?"

"Heh! Apa hubungannya?"

"Nggak ada. Tapi intinya aku cinta sama kamu."

"Wih hebat. Ngigaunya disiarin langsung lewat telepon."

"Aku ingin kamu jadi pacar aku. Sekarang tinggal kamu, ingin aku jadi pacar kamu nggak?"

"Bangun, Mas. Nggak bagus bobo sore-sore."

"Kalau kamu mau jadi pacarku, tahun depan aku beliin helikopter."

"Kalau begitu tahun depan aja aku jadi pacar kamunya."

"Hahaha... Aku maunya mulai sekarang."

"Males ah. Kamu nggak serius."

"Serius! Dengan syarat kamu nerima aku. Kalau ditolak, berarti becanda, hehe..."

Tak ada tanggapan lagi dari Linn. Ia memilih bungkam, walau di dalam hatinya menggerundel. "Serius nggak sih itu orang? Ngungkapin cinta kok nggak ada beban banget, sekata-katanya aja. Lancar kayak air yang mengalir..."

"Ngomong 'iya'nya kok lama banget? Apa perlu aku wakilin?" desak Zuck.

"Kayaknya udah nggak musim deh, Mas, ngungkapin cinta lewat telepon."

"Lah sekarang kan udah jaman canggih, masa masih harus pakai kaleng yang dibenangin? Kamu kok nggak kekinian banget sih?"

"Secara langsung woey! Haduh! Payah nih belatung petai!"

"Linn aku boleh nanya?"

"Itu kan udah nanya. Dari tadi juga udah nanya-nanya. Pakai nanya!"

"Nanya hal lain, Linn!"

"Hehe. Iya. Tentu saja boleh, Mas."

"Tapi harus jawab jujur ya? Bohong dosa!"



Sejenak Linn termenung penasaran. "Mau nanya apaan sih?"

"Mmm... Aku, aku mau nanya... Kamu udah makan?"

"Kan? Kirain seriuuuus?"

"Makan kan juga urusan seriuuuus?"

"Belum!"

"Yaudah kamu makan dulu gih. Jangan suka telat makan, kasian tau cacing-cacing dalam kandunganmu. Nanti mereka kena maag."

"Wah, wah, sembarangan aja kalau ngomong!" Linn tidak terima dituduh cacingan.

"Nanti setelah kamu makan aku telepon lagi boleh?"

"Emm... Boleh nggak ya?"

"Makasiiih. Yaudah met maem ya. Ntar 20 menit lagi aku telepon," kata Zuck kemudian menutup telepon.

Linn menempeleng kasur. Geram dengan gaya Zuck menelepon yang kayak orang dikejar pasukan setan. Nyebelin banget, tapi nyenengin juga sih. Linn tersenyum sendiri sambil bangkit dari pembaringannya, kemudian men-charge HP nyetok daya buat nanti teleponan babak ke dua. Setelah itu Linn keluar kamar menuju ruang makan dengan berjalan kaki. Soalnya di dalam rumahnya memang belum ada angkutan umum.

Sebenarnya Linn belum lapar, hanya saja dia sudah membiasakan diri makan malam sebelum jam 00:00 WIB.

--~=00=~--

Posting Komentar untuk "Zuck Linn #11: Rasa Itu"