Widget HTML #1

Zuck Linn #13: Tamu Malam Minggu


#13 Tamu Malam Minggu

Linn berlari kecil menuruni loteng menuju lantai dasar. Mendekati pintu utama dan membukanya perlahan. Sambil keluar ia kembali menutup pintu dengan perlahan pula. Dilihatnya Rein sedang duduk di pinggir lantai teras, membungkuk asyik dengan gadget di genggamannya.

"Dor!" sapa Linn.

Tamunya menoleh.

"HUAAAA!!!" Keduanya serentak berteriak. Kaget banget! Tamunya kaget melihat penampilan Linn yang sangat tidak manusiawi. Sementara Linn kaget karena ternyata tamunya bukan Rein!

Linn spontan berbalik dan dengan gugup berlari berniat kembali masuk rumah. Tapi... BRUGH! Ia lupa kalau pintunya telah tertutup. Alhasil badannya sukses menabrak pintu yang tak berdosa.

"Adududuhh..." rintih Linn mengusap-usap jidatnya yang pusing, rasanya seperti ada bintang-bintang kecil muter-muter di sekitar kepalanya.

"Kenapa lari? Aku kan nggak gigit?"

"Bodo!" pekik Linn males banget melihat wajah tamunya yang tidak lain ternyata Zuck.

Jadi tadi ketika Linn makan, Zuck diam-diam berangkat ke rumah Linn. Ia merasa tertantang dengan kata-kata Linn yang berbunyi: "Kayaknya udah nggak musim deh, Mas, ngungkapin cinta lewat telepon."

Sayangnya ketika Zuck mengetuk pintu, Mbak Uci yang membukakan dan berbohong bilang Linn sudah tidur. Zuck yang tahu Linn belum tidur, memaksa Uci agar memanggilkan Linn. Dan sebenarnya saat teleponan sesi kedua tadi, Zuck sudah berada di beranda rumah Linn.

"Kamu sih, lari nggak liat-liat. Untung aja pintunya nggak apa-apa," ujar Zuck sambil memeriksa kondisi pintu rumah.

"Ih dasaaaar... rese! Nyebeliiiin!"



Pipi Zuck menembem berusaha menahan tawa. "Iya, iya. Maaf. Sorii. Tadinya aku cuma mau ngasih surprise. Aku dengar di RRI pro 4, katanya cewek itu suka dikasih kejutan."

"Tapi aku nggak terkejut!"

"Iya, enggak kok. Justru aku yang terkejut. Kirain tadi kuntilanak, eh ternyata calon ibunya anak-anak. Mhahaha..."

Linn melototi Zuck. Rasanya ingin sekali mencubiti cowok menyebalkan itu pakai catutan kuku.

"Kamu sendiri yang ingin aku ngomong langsung. Karena aku serius cinta kamu, ya aku datang untuk itu...

Sesaat Linn tersenyum, kemudian kembali merengut. "Tapi bilang dong kalau mau ke sini, biar aku bisa siap-siap. Jangan main tiba-tiba gini!"

Zuck memperhatikan penampilan Linn, lalu tersenyum mengerti. "Kalau udah dari dasarnya, bagaimanapun juga kamu tetep cantik kok. Jadi, pede aja ketemu aku walau dengan tampilan seperti musuhnya Raden Kian Santang gini," kata Zuck memberi komentar membangun, sambil jari telunjuknya membuat gerakan melingkar di depan wajah Linn.

"Ih kepedean! Siapa yang nggak pede?"

"Yaudah, yaudah. Yang ngerasa cantik ngalah."
Linn melengos. "Tapi kening Linn masih sakit nih, Mbal."

Kedua tangan Zuck memegang kedua sisi kepala Linn, kemudian di bagian kening ditiup-tiupnya lembut. "Fhuuh.. Fhuuh.. Udah ya, nanti pasti sembuh sendiri."

Linn tersenyum diperlakukan seperti anak kecil seperti itu. Lalu oleh Zuck ia dibimbing duduk di kursi teras. Zuck sendiri kemudian duduk di kursi satunya yang terpisahkan oleh meja kecil. Setelah itu, untuk beberapa saat keduanya hanya diam-diaman.

"Aku masuk bentar ya, Mas. Ganti baju," pamit Linn siap-siap berdiri.

"Eh, jangan. Nggak usah. Di situ aja dulu," larang Zuck setengah memaksa.

"Kenapa? Nggak nyaman tau masih seperti ini?"

"Udah pokoknya diem dulu. Duduk yang anteng, jangan gerak-gerak. Aku mau nembak kamu nih, takut nggak kena," kata Zuck sambil mengubah duduknya menghadap Linn serius.

Pipi Linn menyembunyikan senyum, lalu melengos pura-pura melihat langit malam yang padahal tidak kelihatan.

Ilustrasi Gambar Malam Yang Indah Penuh Bintang

"Linn, demi apapun, aku cinta banget sama kamu. Aku ingin kamu menjadi ayangnya aku. Ada pertanyaan?"

"Ada. Mas Zuck mau minum apa?" tanya Linn mengalihkan topik, tetap mencari celah biar bisa kembali masuk rumah untuk ganti kostum.

"Udah air putih aja!" tegas Zuck pilih yang sederhana. Dalam hatinya gondok dengan sikap Linn yang tak juga memberi jawaban pasti. "Tapi kalau nggak ada air putih, minuman-minuman kaleng juga nggak apa-apa."

Linn masuk rumah. Tidak sampai sehari ia sudah kembali membawa 2 kaleng minuman rasa cempedak lengkap dengan 2 batang sedotan. Penampilannya juga sudah jauh lebih manusiawi. Memakai kaos biru lengan pendek yang itupun masih Linn gulung bagian ujungnya. Bawahannya celanajeans pendek yang pendeknya karena sengaja dipotong. Sesaat Zuck tersenyum memandang penampilan Linn, lalu mengambil salah satu minuman kaleng beserta sedotannya.

"Kamu emang cantik banget, Alinna. Subhanallah..." puji Zuck meneropong Linn dengan sedotan, sambil memejamkan matanya yang sebelah.

"Kurang ajar! Hahaha..." Linn melempar Zuck dengan bantal kursi dan tepat mengenai bahunya. Tapi Zuck tidak apa-apa. Dia lelaki yang kuat.

Zuck membuka tutup kaleng minuman, memasukkan sedotan yang tadi digunakan untuk meneropong, lalu diletakkan di sebelah Linn. Linn tersenyum melihat sikap manis Zuck yang sudah seperti suami yang baik dan benar.
"Papa sama Mama kamu ke mana?" tanya Zuck sambil membuka satu kaleng lagi untuk dirinya sendiri.

"Papa sih tadi pergi Mama. Kalau Mama nggak tau ke mana, mungkin lagi pergi sama Papa," jawab Linn.

Zuck mendengus pelan. Kemudian ketika ia melirik Linn, gadis itu malah tertawa melihat tampang kesal Zuck. Zuck mendengus lagi. Punya pacar Linn, sepertinya harus punya tabungan kesabaran yang ekstra banyak.

"Aku udah ngomong langsung tuh tadi. Jadi gimana jawaban kamu?" tanya Zuck kembali ke tujuan utama. Memasukan sedotan ke bibirnya, minuman dari dalam kaleng disedotnya pelan-pelan.

"Gimana dengan Wanda?" tanya Linn tiba-tiba.

Zuck spotan tersedak, terbatuk-batuk dan buru-buru mengembalikan minuman kaleng miliknya ke meja.

"Mas nggak apa-apa?" tanya Linn dengan wajah cemas.

"Nggak apa-apa, nggak apa-apa. Aku hanya belum terbiasa minum minuman kaleng seperti ini. Biasanya minum air pancuran."

Linn ngakak. "Hahaha... Alesan aja. Padahal gara-gara mendengar nama Wanda kan?"

"Udah ah. Gak perlu bawa-bawa dia. Itu udah masa lalu."

"Masa lalu apaan? Kata Yonah baru beberapa bulan kemarin. Masa lalu tuh ya, Mas, waktu orang-orang masih hidup nomaden pindah dari goa ke goa. Busananya kulit pohon. Belum ada wi-fi."

"Mending udah beberapa bulan. Nah kamu, kata Yonah, baru beberapa hari putus sama Evan."

"Tapi aku kan udah nggak cinta sama dia."

"Sama. Aku juga."

"Juga udah nggak cinta Evan?"

"Udah nggak cinta Wanda. Hih!" Zuck balas melempar bantal sofa tapi tak kena.

"Muahaha..." Linn langsung tertawa keras dan terpingkal-pingkal, seakan dunia miliknya sendiri.

"Kalaupun menurutmu aku masih belum bisa melupakan mantan, paling nggak itu membuktikan kalau aku orangnya setia. Justru kamu harus hati-hati sama yang gampang melupakan mantan, bisa jadi orangnya nggak setia dan bosenan."

Tawa Linn memudar. "Ini ceritanya nyindir?"

"Enggak. Cuma ngasih info."

"Yaudah terusin gih."



"Sampai di mana tadi? Oh, iya. Jadi, orang yang sulit melupakan mantan jangan dipaksa melupakan, jangan dimarahi, jangan diungkit-diungkit. Cintai dia apa adanya. Sayangi dia sebesar-besarnya. Percayalah, seiring waktu, mantan akan menjadi nggak berarti lagi baginya."

"Tapi aku takut, Mas hanya ingin melupakan Wanda dengan cara mencintaiku. Emang sih kata guru penjaskes, lari baik buat kesehatan. Tapi menjadikanku pelarian itu gak adil. Kamunya yang sehat, akunya yang sakit."

"Sudahlah, Linn. Kamu tuh ngomong apaan sih? Tujuanku ke sini tadi dalam rangka mendapat jawaban cinta kamu. Bukan untuk bahas-bahas guru penjaskes!"

Linn terdiam beberapa saat. "Aku pikir-pikir dulu."

"Iya pikir-pikir dulu deh. Dua detik, ya?" kata Zuck sambil melihat arloji di tangannya.

"Bunuh saja sekalian aku, Mas! Bunuh!"

"Enggak mau! Apaan?! Jadi pacar aja belum udah nyuruh-nyuruh," gerutu Zuck memperlihatkan tampang sewot.

"Huahaha," Linn tak bisa mengendalikan tawanya. Ia tertawa terbahak-bahak lagi seakan tidak ada lagi hari esok.

"Yaudah aku pulang. Udah malam. Kamu pikir-pikir aja dulu," kata Zuck kemudian berdiri.

"Iya, Mas. Mas hati-hati pulangnya."

Zuck mengambil minuman kaleng miliknya yang tadi baru terminum sedikit, akan dibawanya untuk bekal di jalan. Tadi ia memang sengaja tidak bawa motor biar kedatangannya tak terendus. Ia kemudian melangkah keluar dari teras, diiringi tatapan mata Linn yang malam ini tampak lebih berbinar.

"Besok aku tunggu jawabannya. Kalau bisa jawaban yang bikin aku bahagia!" teriak Zuck sambil berjalan mundur beberapa langkah, setelah itu balik kanan dan berlari keluar gerbang lalu hilang terhalang pagar-pagar rumah.

Linn tertawa. Entah kenapa bersama Zuck ia begitu gampang tertawa. Ia pun kemudian masuk rumah sambil tak berhenti senyum-senyum. Menutup pintu perlahan. Disandarkannya sebentar punggungnya di pintu. Matanya memejam. Pikirannya menerawang. Sementara dalam hatinya bergemuruh yang tak menentu. Setelah itu berlari ke kamar dengan langkah-langkah yang terasa begitu ringan.

--~=00=~--

Posting Komentar untuk "Zuck Linn #13: Tamu Malam Minggu"