Widget HTML #1

Zuck Linn #19: Rahasia Yonah

Zuck dan Linn


#19 Rahasia Yonah

Dari acara reuni dadakan di tempat pangkas rambut Jabon, Zuck pulang menggunakan jasa bis kota jurusan Kubang. Tapi bis hanya mengantarkannya sampai ujung gang. Untuk sampai ke rumah, Zuck masih butuh waktu antara 10 sampai 11 menit berjalan kaki.

Pintu dalam keadaan terbuka saat Zuck tiba di rumah. Kondisi itu membuatnya tidak perlu repot-repot membukanya, bisa langsung masuk dan mungkin tanpa disadari oleh orang-orang rumah.

Tiba di kamar, Zuck berencana membuka jaket dan bajunya dan menggantinya dengan kaos hadiah kampanye Gerindra. Baru setengah resleting jaket diturunkan, sayup-sayup dari arah samping rumah terdengar Yonah sedang mengobrol dengan seseorang lewat telepon. Awalnya Zuck tak mau tahu, tapi saat mendengar ada namanya dan nama Linn disebut-sebut, Zuck langsung mencari asahan untuk mempertajam indra pendengarannya.

"Terima kasih ya, Linn, akhirnya kamu mau menolak Mas Zuck. Aku tau ini nggak mengenakkan buat kamu, buat Mas Zuck, dan juga buat aku. Tapi gimana lagi, inilah jalan terbaik. Aku nggak mau persahabatan kita terganggu jika kalian nekat jadian."

Zuck terduduk di tepi ranjang. Kakinya terasa lemas. Sekarang ia mengerti kenapa tadi malam Linn tidak jadi menerimanya. Ternyata Yonah gara-garanya!

"Pokoknya demi langgengnya persahabatan kita, nggak boleh ada yang macarin Mas Zuck! Kamu nggak boleh, Dewik juga jangan. Aku juga janji nggak akan pernah pacaran sama dia!"

Zuck menghela nafas berkali-kali. Tadinya ia ingin keluar dan memarahi Yonah. Apa haknya ikut campur urusan cintanya dengan Linn? Tapi kemudian Zuck sadar, Yonah juga berhak untuk itu.

"Aku abangnya, Linn sahabat baiknya. Dia hanya terlalu khawatir kalau aku jadian sama Linn, nanti bisa merusak semuanya," kata Zuck berbicara kepada lemari.

Lagipula Zuck merasa semua sudah terlambat. Ia kadung tergabung dalam Gebrack Band, band anti cinta, yang melarang personilnya punya pacar. Nekat kembali mendekati Linn jelas akan dicap penghianat dan terdepak dari sana. Zuck tidak mau berpisah dengan sahabat-sahabatnya itu. Di sisi lain, melepas Linn begitu saja juga bukan pilihan yang sesuai hati. Zuck tidak mau munafik, ia sangat mencintai Linn melebihi cintanya kepada produk Indonesia.

Zuck berbaring dengan lengan menyilang di jidat. Hatinya bimbang. Pikirannya bingung. Dua-duanya sangat Zuck inginkan. Baik Alinna Bilqis Quinova ataupun Gebrack Band. Zuck tidak bisa memilih salah satu, tapi juga tidak boleh memilih dua-duanya. Sungguh sebuah dilema besar! Bagaikan buah simalakama mentah, dimakan sepet, tak dimakan lapar.



Mendadak ada sesungging senyum di sudut bibir Zuck. Wajahnya berbinar mirip penyair mendapat ide bagus. Ia bergegas bangun, menaikkan kembali resleting jaketnya, kemudian keluar kamar menuju garasi.

"Lho, Mas Zuck, udah pulang?" Yonah sedikit terkaget-kaget.

Zuck hanya menoleh dan memberi senyum.

"Gimana tadi jalannya sama Kak Nivi?"

"Kita kan naik mobil. Bukan jalan?" jawab Zuck tanpa menghentikan langkah, bahkan justru lebih dipercepat. Tapi tiba-tiba langkah itu terhenti. Mukanya syok memandang garasi.

"Kenapa, Mas? Ada apa?" Yonah terheran-heran.

Beberapa saat Zuck masih terdiam. Setelah itu menoleh ke arah Yonah, menghembuskan nafas lega sambil mengelus-elus dada. "Nggak apa-apa. Kirain tadi ke mana mobil di garasi, taunya emang belum punya."

"Setan!" teriak Yonah. Kepalanya celingak-celinguk mencari benda yang kira-kira bisa dilemparkan tapi tidak mengakibatkan luka-luka.

Sayangnya Zuck sudah lebih dulu melesat pergi bersama motornya. Meninggalkan Yonah yang masih misuh-misuh.

Ilustrasi Gambar untuk cerpen

--~=00=~--

Zuck menghentikan motornya di depan rumah megah yang di halamannya ditumbuhi pohon jambu air dan mangga. Setengah menit setelah memencet bel, Uci datang.

"Mau ketemu Linna, Mbak?" Zuck menjelaskan maksud kedatangannya.

"Mbak Linn-nya ndak ada, Mas."

Zuck kukur-kukur kepala. Masa menghadiri acara pemakaman pejabat negara dari tadi malam belum pulang juga?

"Pergi ke mana ya, Mbak?"

"Tuh di depan, beli es campur."

Kepala Zuck memutar mengikuti tangan Mbak Uci yang menunjuk ke sebuah rumah di seberang jalan.

"Saya susul ke sana," pamit Zuck, kemudian berlari-lari manja menuju tempat jualan es campur.

Tiba di tempat, Linn agak kaget melihat kedatangan Zuck.

"Udah lama nunggu?" sapa Zuck super pede sembari duduk di depan Linn.

"Belum kok. Nah, itu udah datang," kata Linn saat melihat pelayan mengantar pesanan ke mejanya. "Mas nggak pengen nyoba? Es campur di sini manis lho, Mas. Kayak aku."

Zuck berdecak pelan. Di planet Namex juga, yang namanya es campur tentu saja manis. Entah kalau es campurnya campur puyer sakit kepala dan kenyataan yang sedang ia rasakan saat ini. Pasti pahit!

"Linn..." Zuck memanggil lembut.

"Iya, Mas," jawab Linn lima kali lebih lembut. Wajahnya merunduk, memperhatikan tangannya sendiri yang tengah memutar-mutar sendok di mangkok es campur.

"Melanjutan obrolan kita tadi malam. Jujur, sebenarnya kamu nggak ingin menolakku kan?" tanya Zuck langsung ke pokok persoalan.

Tidak ada tanggapan dari Linn. Ia sibuk sendiri mencicipi es campurnya seujung sendok. Lidahnya mengecap-ngecap. "Ini kenapa, ya, Mas. Es campurnya berasa kayak bukan kopi luwak?"

"Itu karena aku sayang kamu!" serobot Zuck. Berusaha menyabarkan diri untuk tidak menabok Linn pakai serutan es. Ngeselin! Ditanya cinta jawabnya kopi luwak. Rasanya Zuck ingin berteriak tepat di kuping Linn, bahwa saat ini tidak ada hal lain yang lebih penting selain sebuah jawaban jujur.

"Aku mau fokus minum es campur dulu, Mas. Jadi sebaiknya kita temenan aja."

"Bohong!" sahut Zuck cepat, ditatapnya Linn dalam-dalam. "Aku bisa melihat, ada cinta untukku di mata kamu."

"Ada gambar love-nya?" Linn mengucek-ngucek matanya.

"Ada gambar calon pacar kamu."

Linn balas menatap Zuck, hanya sanggup dua detik. "Ada gambarku juga di matamu. Kita kan lagi duduk berhadapan?"

"Sudahlah, Linn, nggak usah keluar jalur. Aku tau, sebenarnya kamu gak pengen nambah teman. Temanmu sudah banyak. Di Facebook aja hampir 5000 teman. Kamu pengen menerimaku jadi pacar, tapi nggak dibolehin sama Yonah. Iya kan? Aku dengar sendiri tadi pas kalian teleponan."

Linn tidak bisa lagi berkelit, tapi dari raut mukanya ia terlihat lega. "Nah berarti Mas udah tau semuanya. Memang gitu kemarin pagi sehabis Mas telepon, Yonah ngelarang aku dan Dewik jatuh cinta sama kamu. Katanya bisa merusak persahabatan."

"Bagaimana kalau kita jadian diam-diam, tanpa sepengetahuan Yonah dan Dewik?"

Alis Linn bertaut. Kemudian menggeleng. "Aku nggak mau membohongi mereka."

"Lebih parah kalau kamu menolakku, berarti kamu membohongiku sekaligus juga membohongi dirimu sendiri."

Linn menyuapi dirinya sendiri sesendok es campur, mengunyahnya perlahan-lahan sambil merenungi ucapan Zuck. Benar juga, menolak Zuck berarti berbohong terhadap dirinya sendiri, sebab sesungguhnya ia sangat ingin menerima Zuck. Dan berbohong itu perbuatan tercela.

"Tapi bukannya Mas Zuck punya pacar?"

"Iya, punya. Tapi nanti, setelah kamu nerima aku."

"Bukan aku! Tadi pagi posting foto berdua sama cewek itu siapa kalau bukan pacar?"

"Oh itu Nivi, bukan pacar. Sumpah."

"Bukan pacar kok perginya berduaan!" tuduh Linn dengan bibir menyungut.

"Nggak berduaan kok. Ada enam jiwa termasuk sopir. Cie cemburu ya?"

"Apa?! Cemburu?! Hahaha. Yaiyalah!"

"Jujur awalnya aku memang kegeeran, kirain mau diajak jalan ke tempat yang indah, taunya dibawa menghadiri presentasi bisnis MLM!"

"Hahaha..."

Tidak terbayangkan andai tadi kenyataan pahit itu dikatakan jujur pada Jabon, pasti teman-temannya bakal ramai ngakak meledek dirinya.

Begitulah yang sebenarnya. Zuck yang sudah ge-er sejuta perkara mengira akan diajak kencan di tempat spesial, ternyata cuma dibawa menghadiri persentasi MLM. Kalau Nivi jujur sejak awal Zuck tidak bakal sudi.

Ini modus baru, atau entah strategi MLM yang Nivi ikuti, menjemput calon downline dengan mobil mewah dan berbohong diajak ke tempat lain. Sebab, jika jujur diajak ke presentasi MLM, atau dipresentasikan langsung di tempat kemungkinan besar gagal. Sudah banyak orang yang trauma dengan MLM. Kalau di lokasi pertemuan, sudah dipersiapkan pembicara-pembicara terlatih, disertai pengakuan-pengakuan anggota mereka.

Ia tidak menyalahkan MLM. Cara kerjanya cukup masuk akal, merekrut dowline dan membuat jaringan sebanyak-banyaknya. Tapi itu kan bukan perkara gampang. Kalau yang menyerah dan gagal, sudah banyak bergelimangan di sekitarnya. Contoh paling dekat Woko.

Dulunya Woko adalah mahasiswa satu jurusan dengannya. Suatu hari ia tergiur ikut bisnis MLM obat-obatan dari Tiongkok. Modalnya hampir 3 juta. Cukup besar untuk mahasiswa berorangtua pas-pasan seperti Woko. Dan ia menyelewengkan duit dari orang tua-nya. Uang yang seharusnya untuk keperluan kuliah, Woko gunakan untuk masuk MLM.

Percaya diri Woko terlalu tinggi. Kalau kebanyakan orang kuliah sambil kerja, dia dengan bangganya mengaku kerja sambil kuliah.

"Sori, Ko, aku nggak berminat. Aku mau konsen di bola aja," tolak Zuck saat itu ketika Woko mengajaknya join.

"Kalau kamu nanti udah punya penghasilan ratusan juta, dapet awards pesawat pribadi dan kapal pesiar, kamu bisa beli Christiano Ronaldo buat ngelatih kamu. Kabarnya dia mau dijual sama Madrid."

"Sembarangan aja manusia diperjualbelikan! Ngelanggar HAM tauk!"



Tapi sabar terkadang ada batasnya. Kesabaran Woko dalam menerima penolakan demi penolakan mencapai titik jenuhnya. Pada suatu hari, ia memutuskan berhenti kuliah dan pergi ke Kalimantan Barat dengan alasan mau melebarkan bisnis MLM-nya di sana. Padahal aslinya dia kabur karena sudah tidak memiliki uang semester dan malu sama teman-teman karena bisnis MLM yang ia bangga-banggakan tak menghasilkan apa-apa.

Zuck tak tertarik dengan dunia MLM. Makanya tadi baru setengah jam pertemuan, ia meloloskan diri dan memilih menemui sahabat-sahabatnya di tempat pangkas rambut Jabon.

Tadi ketika reuni, Zuck berusaha terlihat baik-baik saja di depan teman-temannya. Padahal perasaannya sedang sangat kecewa dan ingin mengamuk. Dalam sehari semalam dua kali menjadi korban PHP. Linn dan Nivi. Hal itulah yang membuat Zuck langsung setuju dengan konsep band anti pacaran yang ditawarkan Jabon. Tadinya ia berpikir lebih baik jomblo saja!

"MLM itu apa sih, Mas?" tanya Linn kemudian.

Zuck melongo terpana. "Kalau nggak tau kenapa tadi ketawa?"

"Ya lucu aja. Mas-nya udah seneng-seneng mengira diajak jalan, taunya ke rapat MLM."

"Termasuk aku udah seneng-seneng nunggu di taman, taunya kamu nggak datang, itu juga lucu?"

"Itu kan karena Yonah," Linn merengut.

"Kan aku udah bilang, kita jadiannya diam-diam, jangan sampai Yonah tau."

"Yang itu kan ngomongnya barusan ini?"

"Jadi kamu nerima aku?" Zuck masih ngotot dengan keinginannya.

Linn tampak termenung. "Entahlah, Mas. Aku pulang dulu. Aku pikir-pikir dulu."

Mata Zuck yang sudah tampak lelah itu hanya memandangi kepergian Linn, selelah hatinya menghadapi sikap Linn, yang untuk jawab iya atau tidak saja harus berpikir seribu kali. Tapi ia tak boleh menyerah! Zuck kemudian menyusul dan mengawal Linn keluar warung es campur.

--~=00=~--

Posting Komentar untuk "Zuck Linn #19: Rahasia Yonah"