Widget HTML #1

Zuck Linn #9: Kangen Ringan

Novel Komedi Romantis Zuck Linn


#9 Kangen Ringan

Hari ini Linn jadi sedikit pendiam dari biasanya. Ia yang sehari-hari suka bercanda dengan Yonah, menjadi segan dan tidak enak hati. Ia masih syok menerima kenyataan bahwa Yonah adiknya Zuck. Bahkan ketika jam istirahat, ia memilih bertahan di kelas, tidak ikut Yonah dan Dewik ke kantin.

"Tumben jam istirahat kerasan di kelas. Tadi Rein nyari-nyari kamu," lapor Dewik. Ia baru saja kembali dari kantin bersama Yonah.

"Biarin. Suruh nyari di Google aja," jawab Linn males-malesan dengan tampang tak jelas.

Yonah memandang Dewik tak mengerti. Dan Dewik membalas dengan mengendikkan bahu, pertanda ia juga tak mengerti.

"Selamat menempuh jomblo baru," ucap Rein yang tahu-tahu sudah menyusul ke kelas.

"Beritanya udah nyebar?" tanya Linn memandang Rein, Yonah, Dewik kemudian papan tulis secara berurutan.

"Yonah yang bilang tadi pas aku nyariin kamu ke kantin," jelas Rein.

Linn tak merespon dan terus menatap kosong ke arah papan tulis.

"Nggak usah sedih gitu lah. Masih banyak cowok lain," kata Rein memberi dukungan moril.

"Dih! Siapa yang sedih?" kilah Linn tidak terima kesedihannya ini dikait-kaitkan dengan putusnya dengan Evan.

"Oh iya nanti sore jadi kan jalan?" tagih Rein.

"Jalan?" Linn amnesia.

"Iya. Kan kemarin kamu udah janji?"

"Eh, masa sih? Duh, iya. Emm... Tapi kayaknya nggak bisa deh, Rein. Soalnya nanti sore aku demam."

"Berarti nanti sore aku jenguk kamu aja. Aku bawain gitar, ntar aku nyanyiin lagu biar cepet sembuh."

"Udah ah, Rein. Jangan gangguin aku. Aku lagi putus cinta!" tukas Linn menatap Rein jutek.

Rein berusaha tersenyum. Ia sadar saat ini bukan waktu yang tepat untuk mendekati Linn. Emosinya sedang tidak bagus sehabis putus cinta kemarin. Akhirnya setelah minta maaf, ia undur diri dari kelas Linn.

"Bukannya kamu emang ngarep bubaran sama Evan? Kok ujungnya jadi galau gitu?" heran Yonah sesaat setelah kepergian Rein.

"Bukan gara-gara itu," sahut Linn pelan. "Aku sedih karena kemarin udah ngomong yang enggak-enggak tentang Zuck. Yonah aku bener-bener minta maaf."

Yonah tersenyum maklum. "Biasa aja kali, Linn. Kayak baru kenal aja. Aku udah paham kok, kamu emang basic-nya gampangan suka sama cowok."

Linn memandang Yonah dengan tatapan sedih. "Tapi perjalananku dalam menyukai Zuck nggak gampang, Yonah. Aku sampai harus kehilangan dompet, putus rantai."

Yonah dan Dewik serempak tertawa pelan. Sementara Linn kembali tertunduk. Dengan sepak terjangnya selama ini dalam urusan cowok, Wajar jika Yonah dan Dewik menganggap ini cuma lelucon, hanya main-main seperti biasanya.



Linn sendiri bingung dengan perasaannya. Tapi yang pasti ia semakin tidak bisa melupakan Zuck. Jika kemarin bertemu tiga kali sehari, hari ini sepertinya tidak akan berjumpa sama sekali. Linn kangen.

Dan ketika pulang sekolah siangnya, Linn menghampiri Yonah di parkiran. "Ntar ngumpul lagi yuk. Di rumah Yonah aja, di rumah Dewik udah, di rumahku sering?"

"Lho bukannya nanti sore kamu ada jadwal demam?" Yonah mengingatkan.

Linn garuk-garuk kepala. "Nggak jadi. Demamnya aku undur 20 tahun lagi."

"Nggak baik lho, Linn, menunda-nunda sesuatu itu," nasehat Yonah.

"Kapan-kapan aja, nanti sore aku banyak cucian," tolak Dewik.

Yonah mengangguk-angguk setuju dengan ketidaksetujuan Dewik.

Linn tampak sedikit kecewa. "Yaudah. Kalau gitu salam aja ya, Yon, buat Zuckici."

Yonah tersenyum sebal. Jaim dikit kenapa sih jadi cewek?! Dasar mentel! Maki Yonah, tapi hanya dalam hati.

Cantiknya Alinna Bilqis Quinova

--~=00=~--

Sudah lebih sejam Linn bertamu ke rumah Yonah. Tapi Yonah sedang tidur siang, jadi selama sejam lebih itu Zuck yang bertugas menemani. Linn justru senang. Mereka ngobrol di teras samping dekat garasi. Sudah banyak topik mereka bahas dalam rentang waktu tersebut. Mulai dari prediksi ekonomi asia di tahun 2016 hingga cara merakit mesin pesawat jet. Linn sebentar-sebentar tertawa, Zuck juga turut tertawa, jaga-jaga jikalau ada orang lewat melihat. Bahaya jika Linn dibiarkan tertawa sendiri, bisa menimbulkan fitnah.

Namun sekarang sudah semenit mereka saling diam. Entah kehabisan bahan entah masing-masing sudah lelah tertawa. Dalam keheningan seperti itu, detak-detak jarum jam di ruang tamu terdengar jelas. Zuck menengok dari kaca jendela, sudah jam tiga tigapuluh enam.

Zuck beralih menatap Linn serius. Kemudian memanggilnya hati-hati. "Linn...

"Iya," Linn menyahut lembut.

"Mm... Aku pengen ngomong sesuatu, tapi kamu jangan marah ya?"

Jantung Linn tiba-tiba berdebar lebih kencang. Sampai sulit berkata-kata. Bahkan pertanyaan Zuck itu cuma dijawabnya dengan anggukan pelan.

"Em... Sesungguhnya..." Zuck menggantung kalimatnya.

Linn ketakutan. Jangan-jangan Zuck mau melamarnya. Duh... Jangan secepat ini! Aku masih kecil. Batin Linn gelisah.

"Sesungguhnya...

"Kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa?!" potong Linn tidak sabar.

"Hahaha... Kamu ini!"

"Mau ngomong apa sih?"

"Sesungguhnya, jam segini ini jadwalku main bola. Jadi nggak apa-apa kan kalau kamu aku tinggal sendiri?"

"Oh enggak. Ngak apa-apa," sahut Linn lega bercampur kesal. Mau pamit main bola saja seriusnya amit-amit.

"Aku suka main bola," jelas Zuck.

"Kalau aku sukanya kamu," itu yang ingin Linn katakan seandainya tidak malu. Tapi yang keluar dari mulutnya: "Tiap hari main bola?"

"Iya tiap hari selasa sama minggu. Aku pengen jadi pemain bola yang hebat. Do'ain ya, ntar kalau udah terkenal kamu kukasih tanda tangan deh."

"Tapi tanda tangannya di atas cek?" pinta Linn sambil tersenyum santun.

Sesaat Zuck terpaku memandang senyum Linn. "Pipi kamu nggak sakit kalau lagi senyum gitu?"

"Enggak. Kenapa sakit?"

"Soalnya tiap senyum, pipi kamu berlubang. Pipi kamu pasti punya kelainan?"

"Bukan punya kelainan, tapi punyaku, hehe," jawab Linn. Punyamu juga, kalau mau, lanjut Linn dalam hati.

"Kalau bukan kelainan berarti cacat. Tapi cacat yang indah."

"Hehe, iya. Bebas."

Zuck beranjak masuk ke dalam rumah. Sebentar kemudian sudah muncul kembali menggendong tas berisi perlengkapan main bola berupa sepatu, kaos kaki, pelindung tulang kering, ikat kepala, permen karet dan balsem. Ia terlihat seksi memakai celana pendek kostum bola yang sesak oleh pahanya yang gempal. "Aku baru aja bangunin Yonah, mudah-mudahan dia bisa gantiin aku nemenin kamu."

"Hehe. Makasih."

"Aku berangkat," pamit Zuck.

"Hati-hati ya. Salam olahraga."

Zuck melangkah penuh percaya diri seolah hari ini pasti menang. Mengagahi RX King-nya, kemudian melaju setelah sebelumnya meninggalkan sebuah klaksonan lembut untuk Linn.

Linn melepas kepergian Zuck nyaris tanpa kedip.



"Linna!"

Linn terperanjat singkat kayak kesengat knalpot. Yonah yang baru bangun tidur tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya dengan rambut yang acak-acakan.

"Hai, Yonah. Hehe. Barusan aku kaget lho."

"Kamu udah dari tadi?"

"Mm... Lumayan."

"Ada apa kemari?"

"Pengen ketemu kamu."

"Oh yah?" Yonah tak yakin.

"Iyah. Yaudah aku pulang dulu ya?"

"Lho? Lho?"

"Kan ketemu kamu-nya udah?"

"Jangan menjadikanku kambing hitam, Linn. Kamu ke sini sebenarnya mau ketemu Mas Zuck kan? Ngaku!" selidik Yonah.

"Jangan berprasangka baik dulu, Yonah. Udah, ya, aku pulang. Daahh..." tangan Linn melambai-lambai ala miss universe menyetop becak, lalu pergi meninggalkan Yonah yang masih geleng-geleng.

--~=00=~--

2 komentar untuk "Zuck Linn #9: Kangen Ringan"

Comment Author Avatar
Bisa jadi seorang sastrawan..tulisanya bagus
Comment Author Avatar
Terima kasih. Tapi saya rasa ini jauh dari kesan sastra, ini masih terlalu ngepop.

Silakan berkomentar dengan tertib dan sopan sesuai dengan adat istiadat yang berlaku.