Widget HTML #1

Zuck Linn #6: Rencana Ngumpul


Zuck Linn
Sebelumnya 👉 Zuck Linn #5: Kenalan

#6 Rencana Ngumpul

Hujan sudah berhenti total menyisakan genangan-genangan kecil di halaman sekolah. Kedatangan para guru dan murid yang tadi sempat terhambat cuaca, kini mulai kembali ramai lancar. Namun berhubung lapangan masih dalam kondisi basah, serta warga sekolah belum sepenuhnya hadir, sehingga akhirnya yang seharusnya pagi ini ada upacara bendera, terpaksa diundur senin depan dan itu pun jika tidak hujan lagi.

Di kelas 3 IPS A, tampak Linn yang baru saja memasuki kelas langsung bergabung dengan dua sahabatnya yang sudah lebih dulu sampai.

"Dor!" begitu cara Linn menyapa.

Dewik yang tengah serius membaca novel, dan Yonah yang sedang asyik menatap gerimis sambil menggigiti ujung pulpen, serempak menoleh ke arah Linn.

"Seneng banget kayaknya. Dapat kenalan ganteng lagi?" tuduh Dewik, menutup novel yang dibacanya.

"Sok tau!" bantah Linn sambil tersenyum. "Dompetku ketemu."

"Beneran ketemu?" tanya Yonah setengah tak percaya.

Linn memamerkan dompet di tangannya. "Isinya masih utuh. Uang sama kalungnya nggak diambil sama pihak yang nemuin."

"Wah. Gimana ceritanya?"

Linn menduduki salah satu kursi. "Jadi gini. Kebiasaan aku tuh tiap bangun tidur langsung cantik. Tetapi tadi pagi beda, begitu bangun aku langsung sedih, teringat sama dompetku yang belum ketemu-ketemu. Berhubung kita udah datengin toko itu dan ternyata di sana nggak ada, kupikir dompetku ketinggalan di rumah. Makanya seluruh rumah aku ubek-ubek. Bahkan aku sampai mengerahkan kekuatan seluruh keluarga buat bantuin nyari. Tapi tetep aja nggak ketemu. Sedih banget kan?"

"Iya sedih bangetlah pastinya. Trus? Trus?"

"Abis itu aku pipis, mandi, berwudhu dan sholat shubuh. Nggak lupa selesai sholat aku berdoa'a kepada Alloh, memohon agar dompetku bisa kembali dalam keadaan selamat. Soalnya kata pak Ustad, kalau kita menginginkan sesuatu, selain dengan berusaha, sebaiknya juga diiringi dengan do'a. Iya, kan?"

"Iya, iya. Trus?" tanya Yonah semakin penasaran.

"Habis sholat aku beres-beres kamar sebentar. Aku tuh ya, biar cantik begini, rajin beberes kamar sendiri tau gak? Nggak melulu ngandelin pembantu. Kan kasian juga tugas Mbak Uci di rumah udah banyak. Mulai dari masak, nyapu, ngepel, cuci piring, cuci baju, cuci motor, cuci darah...

"Terus?!" potong Yonah tak sabar.

"Kemudian setelah kamar rapi aku buka lemari...

"Dan ternyata dompet itu ada dalam lemari?" potong Yonah sekali lagi, menebak.

"Bukan! Aku buka lemari mau ngambil seragam sekolah."

"Trus ketemu sama dompetnya kapan?!" Yonah sudah habis kesabaran.

"Tunggu dong! Jangan dipotong-potong terus. Nah, selesai memakai seragam aku sarapan kayak biasanya. Bagiku sarapan itu penting, buat menjaga stamina kita hingga siang hari. Dokter-dokter juga menganjurkan kita untuk nggak lupa sarapan. Tapi gara-gara terus kepikiran sama dompet, aku sarapannya nggak selera. Cuma dikit langsung berangkat sekolah. Eh di tengah jalan tiba-tiba hujan turun deras. Deras banget. Karena di tengah jalan hujan, tentu aku minggir kan? Aku belok ke sebuah ruko numpang berteduh. Ruko-nya masih belum jadi gitu. Entah pemiliknya kehabisan modal, entah tanahnya sengketa, atau bisa juga anggarannya dikorupsi kayak proyek Hambalang...

Dewik mulai mengantuk. "Yonah, sementara ini aku lanjut baca dulu. Ntar kalau ceritanya udah sampai pada waktu dompetnya ketemu, tolong kabarin."

"Sip!" jawab Yonah, yang dia sendiri pun kemudian memilih menatap mendung dari balik kaca kelas.

Sementara itu, Linn masih semangat bercerita. "Pas aku di ruko itu, ada seorang mahasiswa datengin aku. Dan ternyata, dia lah sang penemu dompetku!"

Yonah terkesiap. Dewik yang tengah membaca novel di sebelahnya disikut tiga kali. "Wik, Wik, udah sampai adegan ketemu dompet!"

"Gimana? Gimana?" tanya Dewik yang merasa ketinggalan cerita.

"Penemu dompet Linn ternyata masih mahasiswa," Yonah menjelaskan.

"Mahasiswa yang baik," Dewik tersenyum ikut senang. Syukurlah, bahagianya Linn murni karena dompetnya ketemu, bukan karena kegenitan kenalan dengan cowok ganteng.

"Selain baik, orangnya juga lumayan ganteng sih."

"Whats?!" Dewik melotot ke arah Linn, lalu memukul pelan meja di depannya dengan novel.

"Ujung-ujungnya baper juga!" gerutu Yonah.

Linn tertawa melihat reaksi rekan-rekannya. "Yaudah, lupain soal gantengnya. Yang jelas, lelaki itu pastilah orang yang baik banget. Buktinya dia mau ngembaliin dompetku dalam keadaan utuh, udah gitu waktu aku kasih imbalan dia nolak. Dan padahal, di dompetku gak ada kartu identitasnya, tapi dia rela berusaha nyari aku buat ngembaliin."

"Iya. Bener-bener baik," Dewik setuju.

"Tapi ganteng juga sih," sahut Yonah menyindir.

Kemudian hening. Yonah gantian membaca novel yang tadi dibaca Dewik. Linn masih senyum-senyum memandangi dompet yang telah kembali dalam genggamannya. Dewik diam karena tak tahu harus ngomong apa lagi.


"Eh, ntar sore kita ngumpul yuk?" akhirnya Dewik mendapatkan bahan untuk diomongkan.

"Hayuk. Di mana?" tanya Linn.

"Di rumah Yonah gimana?" usul Dewik.

"Kali ini di rumahku aja," sahut Yonah tanpa mengalihkan pandangannya dari lembaran novel yang dibacanya.

"Di rumah Yonah sajalah. Di rumah Dewik udah pernah, di rumahku udah sering," Linn yang masih fokus ke dompetnya ikut menyumbang saran. Sesaat kemudian ia menoleh menatap dua sahabatnya. "Eh tapi aku belum tau rumah Yonah?"

"Gampang lho padahal. Dari rumah Dewik ke rumahku cuma berjarak lima rumah aja. Kelihatan yang catnya putih," Yonah menerangkan.

Linn coba mengingat-ingat. "Oh itu. Yang ada pintu sama jendelanya itu ya? Trus lima rumah dari rumahmu rumah Dewik?"

"Yo'i." Yonah mengacungkan jempol.

Selain di sekolah, mereka bertiga memang kerap berkumpul sedikitnya sekali dalam seminggu. Nonton film, sekedar makan-makan, nongkrong di plaza, jalan-jalan ke luar kota, memburu harta karun atau berkumpul di rumah salah satu dari ketiganya. Sejauh ini yang paling sering adalah di rumah Linn. Di rumah Dewik baru digelar dua kali. Sedangkan Yonah, sore nanti baru mendapat kesempatan pertama menjadi tuan rumah.

Linn, Dewik dan Yonah

--~=00=~--

Jam istirahat pertama. Seperti biasa, Linn beserta duo sahabatnya nongkrong di kantin untuk isi ulang perut. Yang tidak biasa, beberapa menit kemudian Rein menyusul ke sana.

"Linn ntar sore jalan yuk," ajak Rein.

"Ke mana, Rein?" tanya Linn sambil tak berkedip menatap betapa gantengnya Rein.

"Ke mana aja. Aku kan udah lama nggak di sini. Takut tersesat."

"Lebay kamu, Rein. Nggak bisa. Kami bertiga nanti sore udah ada acara sendiri," Yonah tidak rela.

"Acara apaan? Gabung dong?"

"Iya sekalian aja gabung, di rumah Yonah," ajak Linn.

"Nggak boleh. Ini acara khusus cewek-cewek!" si tuan rumah menolak.

"Yaah... Kenapa?" Rein tampak kecewa.

"Iya kenapa?" Linn ikutan kecewa. Padahal kalau ada Rein kan lebih seru. Ada pemandangan ganteng yang bisa dilihat-lihat.

"Nggak denger tadi, ini acara hanya untuk kaum cewek? Tapi ini masih siang kok, Rein. Kamu bisa operasi kelamin dulu, biar ntar sore bisa ikutan," tegas Yonah.

"Dih. Kejam banget sih, Yonah?" sesal Linn.

"Biarin," sahut Yonah.

"Yaudah nggak apa-apa deh. Besok aja," Rein mengalah.

"Iya. Besok aja," Linn tersenyum senang melihat Rein yang tampan tapi penyabar.

Rein kemudian buru-buru permisi pergi. Karena pada saat yang sama, Evan memasuki kantin dengan tampang tak ramah.


"Sengaja janjian sama dia di sini?" tanya Evan sinis setibanya di dalam kantin.

"Enggak!" jawab Linn males-malesan.

"Kalau enggak ngapain kamu dan dia di sini?"

"Evan apaan sih? Ini kan bukan kantin leluhurku. Gimana caranya aku ngelarang dia masuk ke sini?"

Evan mendengus gusar. "Ngobrol apaan tadi?"

"Dia ngajak jalan sore nanti, tapi aku nggak mau!"

"Bagus! Ntar jalan sama aku aja."

"Nggak. Nanti sore aku mau ngumpul di rumah Yonah."

"Yaudah aku ikut ke sana."

"Nggak boleh. Ini acara khusus cewek-cewek. Kalau nekad pengen ikut, sana ke Thailand dulu operasi alat vital."

"Huh! Dasar egois!" kata Evan ketus. Kemudian beranjak pergi meninggalkan kantin tanpa permisi.

Linn mengambil sikap bodo amat atas sikap Evan. Capek!
Selanjutnya 👉 Zuck Linn #7: Tragedi Rantai Motor

Posting Komentar untuk "Zuck Linn #6: Rencana Ngumpul"