Widget HTML #1

Zuck Linn #25: Kencan di Kuburan

Novel Wattpad terbaru


#25 Kencan di Kuburan

Selesai kuliah Zuck tidak langsung pulang ke rumah. Ia singgah di tempat pangkas rambut Jabon, ingin sedikit merapikan rambutnya yang mulai tampak menyemak. Usaha potong rambut yang dikelola Jabon sebenarnya kecil, tapi punya banyak pelanggan tetap. Zuck termasuk di antaranya. Sebagai sahabat, di sana Zuck bisa ngutang dan mengangsur pembayarannya.

Jabon sedang ada pelanggan ketika Zuck tiba di sana. Meski sahabat, Zuck tetap wajib ikut antrian. Tapi tidak menjadi persoalan bagi Zuck, sambil menunggu giliran ia bisa mengisi waktu dengan chatting-an dengan Linn. Dasar jodoh, baru saja Zuck mulai mengetik, Linn sudah lebih dulu menyapa.

'Udah siang nih, Mas. Kamu jangan lupa ingetin aku makan siang ya?'

'Eh, iya. Makasih ya, Sayang, udah ngingetin aku untuk ngingetin kamu makan siang. Hampir aja lupa. Kalau sampai lupa, aku pasti nggak akan memaafkan diriku sendiri.'

'Hehe... Nggak apa-apa. Aku tetep cinta.'

'Minumnya diingetin juga nggak?'

'Nggak usah, Mas, ntar kamu capek. Kalau haus atau kepedesan aku juga pasti inget sendiri kok.'

'Pinternya. Oh ya makan siangnya bareng calon mertuaku?'

'Enggak. Kayaknya mereka udah kenyang. Soalnya sudah banyak makan asam garam kehidupan.'

'Hahaha...'

'Aku kangen.'

'Aku juga. Kangen.'

'Mas lagi apa, selain ikut-ikutan kangen?'

'Nggak ada. Sekarang ini aku khusus kangen aja. Ntar sore baru aku ke sana.'

'Hehe. Serius? Jam berapa?'

'Empat.'

'Kayaknya nggak bisa. Jam segitu aku ngerjain PR akutansi bareng Yonah dan Dewik.'

'Batalin aja. Nanti sama aku aja ngerjain barengnya.'

"Asyik banget. Apaan sih?" tanya Jabon penasaran melihat Zuck tertawa dan senyum-senyum kepada layar android.

"Nonton film," jawab Zuck sekenanya.

"Film apa?"

"SMA Hot!"

"Wih. Bagus dong?"

"Lumayan. Isinya rekaman anak SMA lagi dihukum jemur di lapangan."

"Bagus banget itu! Kirim dong lewat infra merah."

"Nggak bisa, Bon. Pulsaku lemah!" jawab Zuck tanpa melihat kepada lawan ngomongnya.



Jabon tak ikut campur lagi. Ia kembali konsen mencukur rambut pelanggannya. Zuck juga kembali meneruskan acara chatting-nya, tidak hirau walau sudah mendapat peringatan baterai tinggal 9%. Ia akhirnya merapat ke colokan biar bisa tetap chatting sekalian ngecas. Saking asyiknya, Zuck sampai lupa kalau sesungguhnya dari tadi sambil menahan pipis. Ada kalanya memang, ngobrol berbalas-balasan pesan singkat bersama kesayangan terasa lebih seru dan mengasyikkan.

Hingga tanpa terasa 15 menit sudah berlalu.

"Jadi pangkas nggak nih? Main HP mulu!" seru Jabon tiba-tiba, membuyarkan keasyikan Zuck.

"Eh, iya. Tapi bentar aku ke kamar mandi dulu," kata Zuck sambil meringis membekap selangkangannya. Nafsu pipisnya yang sedari tadi masih bisa ditahan, sekarang sudah tidak bisa. Diletakkannya handphone yang masih dicas tersebut, lalu tergesa-gesa pergi ke toilet.

--~=00=~--


"Linn nggak bisa dateng. Katanya jam 4 ada acara keluarga," Yonah menunjukkan kepada Dewik pesan dari Linn yang baru saja ia terima.

Dewik melihat pesan itu sekilas. Dari raut wajahnya ia terlihat tidak terlalu peduli. "Yaudah kita selesaikan saja berdua."

Kemudian keduanya bahu membahu berusaha menyelesaikan soal demi soal. Ada 20 soal, dan harus benar semua jika ingin mendapat nilai yang bagus. Tapi sudah setengah jam berlalu, mereka baru menyelesaikan 3 soal. Dan itu pun belum tentu benar.

"Susah-susah ya soalnya?" keluh Dewik.

Yonah tersenyum sepet. Jika Dewik, yang paling pintar di antara mereka saja sudah menggagapnya susah, apalagi Yonah.

Untung tak lama kemudian, dari luar terdengar suara RX King berhenti. Yonah tersenyum. Ia tahu itu Zuck pulang dari kampus, yang sebentar lagi bisa dimintai tolong mengerjakan tugas.

"Mas bantuin ngisi PR akuntansi," sambut Yonah begitu Zuck memasuki ambang pintu.

"Jam berapa sekarang?" Zuck justru bertanya.

"Baru jam 3.43."

"Waduh nggak bisa. Ntar malam aja ya, soalnya 15 menit lagi aku ada acara," kata Zuck sambil melangkah masuk kamar.

"Sok sibuk banget sih?" gerutu Yonah tampak kecewa.

Sementara Dewik menunduk pura-pura menekuni buku pelajarannya, ia takut wajah sedihnya terlihat Yonah.

"Ntar malam pasti aku bantuin. Janji!" kata Zuck meyakinkan. Ia baru saja keluar kamar dan sedang melintas mau keluar rumah.

Yonah bergeming. Dicegah juga pasti percuma. Tak berapa lama, dari luar terdengar Zuck sudah menyalakan motornya dan langsung dibawanya pergi.

"Yonah, aku pulang aja ya? Ngantuk," Dewik minta diri setelah deru motor Zuck terdengar semakin jauh.

"Samaan. Aku juga ngantuk. Nggak mood belajar," sahut Yonah sambil menguap bebas tanpa tutup mulut. Beberapa saat aroma naga sempat menguar memenuhi ruangan. "Nggak ada Linn kurang seru ya?"

"Iya," sahut Dewik pendek.

Dan setelah memasukkan buku-bukunya ke dalam karung, Dewik meninggalkan rumah Yonah dengan langkah terburu. Sebenarnya, ia sama sekali tidak mengantuk.

Sepeda motor Zuck Linn

--~=00=~--

Linn sedang sibuk menyapu ketika sore itu motor Zuck memasuki halaman rumahnya. Tiin! Zuck memberi sebuah klaksonan mesra.

Linn menoleh dan tersenyum, "Lagi nyapu."

"Udah tau," kata Zuck sambil turun dari motor. "Tapi kelihatan masih kurang bersih."

"Apaan sih? Datang-datang ngritik," sewot Linn.
Tanpa banyak kata, Zuck mengambil sapu satu lagi, kemudian ikut membantu Linn menyapu dedaunan kering yang mengotori halaman.

Linn tersenyum senang, "Ini pasti pencitraan. Biar orang tuaku mengira kamu lelaki yang rajin membantu calon istri."

"Sembarangan!" sahut Zuck tidak terima dianggap sedang magang menjadi menantu orang tua Linn. "Ini semata-mata demi kebaikan kamu, Beb. Nggak lebih."

"Maksudnya apa?"

"Biar kamu nggak kehilangan aku. Kamu lupa sama kata orang-orang tua, yang kalau cewek nyapunya nggak bersih ntar dapat suami bewokan? Itu berarti kamu gagal bersuamikan aku!"

Linn memperhatikan wajah Zuck dengan seksama. Wajah yang bersih mulus, hanya terlihat beberapa helai bulu, dan itu pun bulu hidung.

"Kalau tidak ingin kehilangan aku, maka menyapulah dengan bersih," kata Zuck memperingatkan.

Mendengar itu, Linn langsung menyinsingkan lengan baju, mengencangkan tali sepatu, kemudian meneruskan pekerjaannya lebih bersemangat. Guguran daun mangga dan jambu air disapu dan dikumpulkan dalam bak sampah. Lima menit kemudian, halaman rumahnya sudah bersih kayak lapangan golf.

Zuck tersenyum melihat hasil kerja Linn. "Nah kalau bersih gitu kan nggak kotor."

"Itu karena aku nggak ingin bersuami, kecuali dengan kamu."

Senyum Zuck semakin tak terkendali. "Jalan-jalan sore yuk."

"Kemana? Ngobrol di rumah sajalah. Ntar ke-gap Yonah lagi kayak kemarin."

"Kali ini lokasinya dijamin aman!"

"Yakin?"

"Banget!"

"Yaudah, Linn mandi dulu."

Zuck memandangi Linn beberapa saat. "Udah ah gitu aja."

Sore itu Linn terlihat cantik apa adanya. Rambutnya dikucir kuda. Berbaju kotak-kotak lengan panjang, dengan bawahan skinny jeans biru tua. Serta sepasang sandal jepit hello kitty yang tampak imut melindungi calon syurga untuk anak-anaknya kelak.

"Yuk, naik," pinta Zuck menepuk-nepuk jok boncengan RX King-nya mempersilakan Linn menempatinya.

Linn segera menaikinya, "Nggak apa-apa nih nggak pakai sabuk pengaman?"



Zuck tak mengindahkan pertanyaan Linn. Ia mulai menstater motornya dan menjalankan dengan kecepatan yang sedang-sedang banget. Kira-kira dua kilometer kemudian, malah semakin memelan.

"Sayang tunggu di sini bentar ya?" kata Zuck menepikan motor di pinggir jalan.

"Masnya mau ngapain?"

"Beli kembang," jawab Zuck menunjuk seorang Ibu tua penjual bunga di seberang jalan.

Linn mengangguk.

Sementara Zuck pergi membeli bunga, Linn menunggu di atas motor sambil senyum-senyum bahagia. Ternyata selain romantis, Zuck juga perhatian banget. Bahkan mau memperhatikan pedagang kecil tepi jalan. Membelikan bunga untuknya saja di sana, bukan di toko-toko bunga yang mewah.

Sambil terus tersenyum-senyum, Linn merapikan rambut di sekitar telinganya, siap-siap kalau nanti Zuck memasangkan bunga di sana.

Tak lama kemudian Zuck kembali ke motor. Tangan kanannya menenteng kresek hitam.

"Bunganya mana?" tanya Linn.

"Ini," Zuck memperlihatkan isi kresek.

Linn melongo. Di dalam kresek terlihat ada bermacam-macam bunga.

"Itu bunga apaan, Mas?"

"Kembang tujuh rupa, Sayang. Ada aggrek, rafflesia arnoldi, kantil, kamboja, mawar, melati semuanya indah...

"Ih, Linn nggak mau!" Linn menutupi sela-sela telinganya dengan tangan. Mending diselipin kembang api ketimbang kembang tujuh rupa seperti itu. Serem!

"Yee... Emang bukan buat kamu kok."

"Terus?"

"Emm... Buat kita bawa jalan."

"Emang kita makannya kembang? Kita kan bukan sejenis tuyul, Mas!"

"Bukan untuk dimakan, Sayang. Udah yuk ah, berangkat!"

Zuck kembali mengengkol RX King-nya.

"Sebenarnya Linn mau diajak jalan-jalan kemana sih?"

"Ke kuburan," jawab Zuck sambil menjalankan motornya.

"Ke kuburan?" ulang Linn ingin memastikan.

"Iya. Nemenin nyekar ke makam Kakekku. Makanya barusan beli kembang dulu."

"Dasaar!!"

"Hahahaa..."

"Malah ketawa?!" Linn mencubiti perut samping Zuck.

"Kan biar aman, Sayang. Sekalian nyekar."

Dari boncengan Linn terus menyerang perut Zuck dengan cubitan bertubi-tubi.

"Eh, eh, nyubitnya di rambut aja. Di perut geli tau," Zuck menggelinjang-gelinjang kayak cacing breakdance.

"Biarin! Itu tandanya aku cantik dong, Mas."

"Apa hubungannya?"

Linn menghentikan cubitannya. Pelan-pelan dipeluknya Zuck dari belakang. Meletakkan dagunya di bahu Zuck. Pipinya ditempelkan pada pipi Zuck. Kemudian berbisik lembut, "Mas gak pernah dengar, kalau lelaki gelian, ntar istrinya cantik."

"Eh, iya. Mhihi..." Hati Zuck berbunga, seakan bunga-bunga di kresek hitam turun ke hatinya.

"Tapi masa ke kuburan sih?" Linn belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan.

"Kan udah dibilang biar aman. Lagian di kuburan juga so sweet kayak film India. Tempatnya sepi, ada pepohonan dan banyak bunga-bunga."

Motor terus melaju ke arah barat daya. Oleh Zuck kecepatan motornya sedikit diperkencang. Semriwingnya angin sore menerpa wajah mereka. Cuaca sore juga terasa semakin cerah, seperti masa depan yang tiba-tiba Zuck bayangkan ketika kelak hidup bersama Linn.

"Makamnya kakek yang mana, Mas?" tanya Linn sesampainya di gerbang pemakaman.

"Itu yang ada batu nisannya."

"Wah hebat. Berarti seluruh kuburan ini isinya makam kakek kamu semua!" seru Linn takjub melihat semua makam terdapat batu nisannya.
Zuck tertawa pelan, sambil memarkirkan motor di sebelah pohon alang-alang.

Linn mengedarkan pandangan ke seluruh areal pemakaman. Hening. Sunyi dan senyap. "Serem banget di sini. Pindah aja yuk. Cari kuburan lain yang ada cafe sama wifi-nya?"

"Udah, ah, ayuk nggak usah rewel," tegas Zuck, meraih tangan Linn dan digandengnya memasuki kawasan pemakaman. Linn akhirnya pasrah.

Tanpa mereka sadari, sedari tadi ada dua pasang mata mengawasi mereka dengan tatapan tidak suka!

--~=00=~--

Posting Komentar untuk "Zuck Linn #25: Kencan di Kuburan"